Beritatrend.com. – Jakarta Minggu, 22/12/24. – Kajian yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap fakta mengejutkan terkait proses seleksi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
Salah satu temuan mencolok adalah permintaan kepada calon peserta untuk menunjukkan saldo rekening saat wawancara.
Temuan ini menimbulkan tanda tanya besar, apakah hal ini relevan dalam proses seleksi akademik.
Kampus berdalih bahwa pertanyaan ini bertujuan untuk memastikan kesiapan finansial peserta.
Pendidikan dokter spesialis dikenal memakan biaya yang besar, sehingga pihak universitas mengaku ingin mencegah risiko putus sekolah di tengah jalan.
Namun, hal ini justru menimbulkan polemik di kalangan calon peserta dan alumni PPDS.
Dalam survei yang dilakukan KPK, sebanyak 58 responden mengaku pernah diminta menunjukkan saldo rekening mereka.
Hasilnya, saldo rekening peserta bervariasi: 6 responden memiliki saldo di atas Rp 500 juta, sementara 19 responden memiliki saldo di bawah Rp 100 juta.
Sebanyak 18 responden menolak untuk memperlihatkan saldo mereka.
Biaya Seleksi dan ‘Uang Tak Resmi’
Selain soal saldo rekening, survei ini juga menyoroti biaya tidak resmi yang muncul selama proses seleksi.
Jumlahnya pun mengejutkan, mulai dari Rp 30 ribu hingga Rp 500 juta.
Di Bali-Nusa Tenggara, 14 responden melaporkan biaya hingga Rp 200 juta, sementara di Jawa mencapai Rp 40 juta,” jelas laporan tersebut.
Temuan ini memunculkan pertanyaan baru: ke mana aliran dana tersebut?
Temuan ini mencakup universitas dari seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, hingga Papua.
KPK menyebut bahwa survei ini baru langkah awal untuk mengidentifikasi potensi risiko korupsi dalam seleksi PPDS.
Langkah berikutnya adalah menggali lebih dalam bagaimana praktik ini berlangsung di setiap universitas.
Masa Depan Seleksi PPDS: Transparansi atau Politisasi?
Temuan ini memicu perdebatan mengenai urgensi transparansi dalam proses seleksi pendidikan dokter spesialis.
Dengan begitu, Indonesia dapat memastikan bahwa pendidikan dokter spesialis tetap berlandaskan pada kompetensi, bukan kemampuan finansial.