Beritatrend.com. -Jakarta Jum;at, 14/06/24. Memang, tambang dan tumbang merupakan dua kalimat yang berbeda makna. Jika tekilir dalam mengucapkan pasti bisa membingungkan pembacanya. Sebab arti dari tambang itu dapat dipahami secara umum tempatnya sumber duit. Tapi boleh juga lebih bebas diartikan, semacam upaya mengeruk isi perut bumi, seperti emas yang disebut tembaga agar takaran pembagian atau pajak bisa diringankan seringan mungkin.
Isi perut bumi yang bisa dikuras itu, macam ragamnya pun cukup banyak. Mulai dari bouksit, timah hingga pasir yang jauh lebih murah dari timah, perak dam tembaga hingga emas, tidak kalah menggiurkan juga minyak bumi, batu bara yang sedang menjadi primadona banyak negara.
Karena itu, konsesi yang dibagikan secara gratisan untuk Ormas Keagamaan terus disamber seperti buaya kelaparan menelan bangkai yang sudah membusuk dan pasti akan menebar bencana bagi kemanusiaan. Meski selama ini kesan umum terhadap tambang tetap dicitrakan selalu baik, sebab akibat dari apa yang ditimbulkan oleh tambang itu, tak pernah serius dikaji secara terbuka, lantaran lebih dominan pengaruh yang menutupinya.
Disinilah persilangan antara tambang dan tumbang, akibat terusan dari tambang yang konon katanya sangat tidak beradab dilakukan, setelah pengerukan isi perut bumi itu habis terkuras dilakukan, lokasinya ditinggal begitu saja, layak status kawin kontrak tiada perlu pertanggung jawaban moral.
Lalu enam konsesi tambang bekas yang tinggal ampasnya itu, ditawarkan dengan seronok kepada Ormas Keagamaan yang mengesankan pada pelecehan. Agaknya, itulah yang menjadi pertimbangan umum Ormas Keagamaan dominan menolak. Inilah yang terjadi, konsesi tambang yang tumbang untuk mengiming-imingi pembangkangan Ormas Keagamaan yang ogah diatur — jika tak boleh diduga hendak disandera seperti Partai Politik — yang tak berkutik dibawah ketiak persekongkolan jahat penguasa yang culas.
Enam konsesi lahan tambang bekas Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B) yang cuma tinggal ampasnya itu dijadikan jatah oleh pemerintah berdasarkan PP No. 25 Tahun 2024 adalah lahan bekas PT. Tanito Harum seluas 34.583 hektar, lahan bekas PT. Arutmin Indonesia seluas 22.900 hektar, lahan bekas PT. Kaltim Prima Coal seluas 23.395 hektar, lahan bekas PT. Multi Harapan Utama seluas 9.563 hektar serta lahan bekas PT. Adaro Indonesia seluas 7.438 hektar dan PT. Kideco yang tersisa 13. 613 hektar.
Pesan yang cukup mengesankan dari Head of Corporate Energy Indonesia Tbk (ADRO), Febriati Nadira seperti yang dilansir berbagai media berharap pengelolaan tambang oleh badan usaha atau badan hukum yang dimiliki Ormas bisa dilakukan secara bijak berdasarkan prinsip-prinsip praktek usaha pertambangan yang baik dan benar (good mining practices) dan senantiasa menerapkan ESG (environmental, social, governence) sehingga memberi manfaat yang besar untuk masyarakat, lingkungan serta konstribusi positif bagi pembangunan di daerah maupun bangsa dan negara.
Peringatan ini, pasti beranijak dari pengalaman atau praktek langsung di lapangan yang selama ini dialami dan dirasakan oleh praktisi pertambangan di Indonesia. Artinya, kecemasan terhadap tambang yang bisa menjadi ancaman nyata bagi “pemain baru” dalam bidang usaha pertambangan yang bisa salah dan juga menyesatkan pengelola organisasi keagamaan di Indonesia yang terlibat dalam pengelolaan usaha tambang.
Agaknya, itulah yang menjadi salah satu dari sekian banyak pertimbangan dari hampir seluruh Ormas Keagamaan — kecuali PB. NU — yang dengan rendah hati menolak tawaran yang tidak cuma bisa menjadi jebakan, tapi juga dapat memabukkan sekaligus jalan yang menyesatkan. Karena jarak pertambangan di bumi sungguh jauh intervalnya dari Ormas Keagamaan yang relatif lebih dekat ke langit.
Adapun pilihan pemasangan judul “Tambang Atau Tumbang” komplit dengan tiga tanda tanya besar ini adalah berasal dari puisi pendek penutup dari diskusi serius bersama Pemimpin Spiritual Nusantara, Sri Eko Sriyanto Galgendu sepanjang perjalanan keliling Jakarta Utara, pada hari Kamis, 13 Juni 2024 untuk dapat lebih meyakinkan bahwa ekonomi rakyat sungguh sedang terpuruk, memprihatinkan. Apalagi kemudian akan ditimpali oleh rencana pemerintah ingin memberlakukan empat hari kerja dalam seminggu. (Jacob Ereste).*