Beritatrend.com. – Jakarta Kqmis, 14/11/24.– Perjalanan Vinicius Junior di Real Madrid tidak selalu mulus. Pemain muda berbakat asal Brasil itu sering kali menjadi sasaran hinaan, bahkan serangan rasial dari suporter lawan. Namun, pendapat kontroversial datang dari mantan pelatih Real Madrid, Vanderlei Luxemburgo, yang menilai bahwa sebagian besar perlakuan buruk yang diterima Vinicius disebabkan oleh sikapnya sendiri di lapangan, bukan semata-mata karena ras.
Vinicius, yang kerap menjadi sorotan karena gaya bermainnya yang enerjik dan emosional, memang tidak asing dengan provokasi. Selama pertandingan, ia sering terlibat dalam perselisihan dengan pemain lawan maupun ofisial. Salah satu insiden yang menonjol terjadi saat ia melontarkan bola dengan kasar kepada Joshua Kimmich, pemain Bayern Munich, dalam laga Liga Champions musim lalu. Tindakan itu dianggap tidak sportif oleh banyak pihak.
Luxemburgo, yang pernah melatih Madrid pada 2004-2005, mengungkapkan pandangannya dalam wawancara dengan jurnalis Brasil Benjamin Back, yang kemudian dikutip oleh Forbes. “Saya rasa Vinicius banyak memicu reaksi negatif dengan sikapnya di lapangan,” ujar Luxemburgo. “Pemain lawan mengembalikan bola dengan sopan, tetapi dia malah melemparkan bola ke tanah. Ini bukan hal yang pantas dilakukan oleh seorang pemain top.”
Lebih lanjut, Luxemburgo juga mengkritik sikap Vinicius yang terkadang terlihat tidak sportif terhadap lawan, bahkan dalam situasi yang seharusnya bisa dihindari. “Ada contoh, ketika Luka Modric menerima bola dari pemain lawan dengan penuh hormat, sementara Vinicius merenggut bola dari kaki full-back lawan,” tambahnya.
Mantan pelatih yang kini berusia 72 tahun itu juga menegaskan bahwa perilaku Vinicius sering kali dianggap berlebihan, terutama terkait dengan klaim rasisme. “Vinicius kerap menganggap tekel-tekel terhadap dirinya sebagai bentuk persekusi karena dia berkulit hitam,” ujar Luxemburgo. “Padahal, banyak pemain lain, seperti Zico, yang juga menerima banyak tekel, dan mereka tidak menganggap itu sebagai rasisme.”
Sikap ini, menurut Luxemburgo, tidak hanya mempengaruhi persepsi terhadap Vinicius di kalangan lawan, tetapi juga dapat berdampak pada kariernya, termasuk dalam ajang individu bergengsi seperti Ballon d’Or. Meski di awal tahun 2024 ia dipandang sebagai salah satu kandidat kuat peraih Ballon d’Or, Vinicius akhirnya kalah bersaing dengan gelandang Manchester City, Rodri, yang memenangkan penghargaan tersebut dengan keunggulan 41 poin.
Luxemburgo, yang dikenal sebagai sosok yang jujur dan tegas, menegaskan bahwa meskipun perlakuan buruk terhadap Vinicius memang ada, itu bukanlah alasan untuk mengabaikan faktor-faktor lain yang turut berkontribusi pada situasi ini. “Rasisme memang harus diberantas, tetapi dalam kasus Vinicius, ada lebih banyak hal yang perlu dipertimbangkan selain masalah warna kulit,” tutupnya.
Pandangan Luxemburgo ini tentu akan menambah kontroversi terkait perlakuan terhadap Vinicius di dunia sepak bola. Meski begitu, satu hal yang pasti, pemain muda ini terus menjadi sorotan—baik karena kemampuan luar biasanya di lapangan maupun karena peranannya dalam perdebatan seputar rasisme dan sportivitas dalam olahraga.