Beritatrend.com. -Jakarta, 16 Juli 2024 – Dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia menuju kemajuan, berbagai konsep dan teori telah mewarnai kebijakan serta perilaku sosial. Di antara yang paling mencolok adalah sikap bakhil dan teori ketergantungan, yang kerap kali diperdebatkan dalam upaya mencapai kesejahteraan yang merata.
Kesetaraan, sering dimaknai sebagai perlakuan sama terhadap semua individu, menjadi tujuan mulia yang ingin dicapai. Namun, konsep ini sering kali terjebak dalam tumpang tindih dengan keadilan, yang memiliki nuansa berbeda namun sama pentingnya dalam membentuk masyarakat yang beradab.
Sikap bakhil, atau keengganan untuk berbagi dan memberikan bantuan secara tulus, nampak mencolok dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Contohnya terlihat dalam kebijakan pemerintah yang bertujuan baik seperti program makan gratis bagi masyarakat miskin. Meski tampak mulia, , ini menuai kritik karena dianggap tidak mendidik dan tidak membangun kemandirian. Banyak pihak berpendapat bahwa dana besar tersebut lebih baik dialokasikan untuk menciptakan lapangan kerja yang dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kemandirian masyarakat.
Di sisi lain, teori ketergantungan yang pernah populer pada era 1970-1980-an, meskipun dianggap usang, masih relevan dalam melihat dinamika politik dan ekonomi Indonesia. Teori ini menunjukkan bagaimana negara berkembang sering kali terjebak dalam posisi tergantung pada negara maju, yang dapat mengakibatkan mental terjajah dan kecenderungan untuk selalu menerima bantuan daripada berusaha mandiri.
Contoh konkret dari manifestasi teori ini bisa dilihat dalam pementasan teater “Si Bakhil” yang disponsori oleh Pedro Sujono, seorang pengusaha sukses pada masanya. Pementasan ini menyindir pemerintah yang pelit dan hanya mementingkan keuntungan sendiri, sebuah sindiran tajam terhadap praktik kapitalisme yang merajalela. Kritik terhadap kebijakan ini menunjukkan bagaimana korupsi semakin mengakar, di mana pejabat publik sering kali dianggap sukses hanya jika mereka kaya raya, bukan karena dedikasi dan integritas mereka.
Budaya korupsi yang semakin merajalela ini menciptakan siklus ketergantungan dan ketidakadilan. Istilah “pahlawan tanpa tanda jasa” yang kerap kali disematkan kepada guru dan tenaga pendidik, mencerminkan betapa rendahnya penghargaan terhadap profesi yang seharusnya mendapat apresiasi tinggi. Dalam konteks ini, masyarakat adat dan budaya lokal sering kali terpinggirkan, dengan kekayaan alam dan budaya yang terus dieksploitasi tanpa memikirkan keberlanjutan.
Sikap bakhil dan ketergantungan tidak hanya mencemari lembaga pemerintah, tetapi juga merasuk ke dalam organisasi masyarakat dan kelompok aktivis. Meskipun mengaku memperjuangkan kepentingan rakyat, banyak dari mereka yang justru terjebak dalam perilaku serupa, menelantarkan anggotanya yang berjuang di lapangan.
Pertanyaan besar yang masih menggelayuti adalah apakah sikap bakhil dan teori ketergantungan ini akan terus mewarnai perjalanan bangsa Indonesia ke depan. Apakah kita mampu melepaskan diri dari belenggu ketergantungan dan membangun masa depan yang lebih mandiri dan sejahtera?
Akankah Indonesia Mampu Beranjak dari Bayang-Bayang Sikap Bakhil dan Ketergantungan?
Menggali lebih dalam, kita melihat bahwa perubahan tidak hanya datang dari kebijakan, tetapi juga dari perubahan mentalitas dan budaya. Diperlukan keberanian untuk keluar dari zona nyaman ketergantungan dan beralih kepada semangat kemandirian yang sejati. Hanya dengan begitu, Indonesia bisa mewujudkan cita-cita kemerdekaannya untuk kesejahteraan seluruh rakyat.(Jacob Ereste).*