Beritatrend.com. -Jakarta, 22/08/24. Revisi Undang-Undang (UU) Pilkada yang tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dapat memperumit penyelenggaraan Pilkada serentak 2024 dan berpotensi menambah biaya politik. Peringatan ini datang dari Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Charles Simabura, yang menilai upaya DPR untuk mengakali putusan MK berisiko membawa dampak buruk bagi semua pihak.
Charles Simabura mengungkapkan bahwa revisi UU Pilkada yang menabrak keputusan MK berpotensi menjadi objek sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Menurutnya, tindakan ini tidak hanya mengancam keabsahan proses pemilihan, tetapi juga akan meningkatkan ongkos politik secara signifikan. “Jika proses pemilu menjadi inkonstitusional, maka bisa saja dibawa ke MK dan mengakibatkan pembatalan. Hal ini jelas merugikan semua pihak dan menambah biaya politik yang sudah tinggi,” ujarnya.
Isu ini berkisar pada upaya Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang dianggap mencoba mengakali Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah harus disamakan untuk semua partai politik, termasuk yang tidak memiliki kursi di DPRD. Namun, Baleg DPR RI justru menambahkan ketentuan bahwa pelonggaran threshold hanya berlaku untuk partai yang tidak memiliki kursi DPRD, sementara partai dengan kursi DPRD tetap diharuskan memenuhi ambang batas 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pileg.
“Ini merupakan bentuk pengabaian terhadap putusan MK yang sudah jelas dan mengikat. Upaya untuk mengakali putusan ini akan menambah masalah dan mengacaukan penyelenggaraan Pilkada,” tambah Charles.
Sebagai catatan, MK sebelumnya menegaskan bahwa putusannya bersifat final dan mengikat. Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menegaskan bahwa semua penyelenggara dan kontestan pemilihan wajib mematuhi putusan tersebut. “Jika tidak, calon kepala daerah yang tidak memenuhi syarat dan ketentuan dari putusan MK dapat dinyatakan tidak sah,” tegas Saldi.
Sementara itu, DPR melalui Panja revisi UU Pilkada tampaknya belum menunjukkan komitmen untuk menyesuaikan dengan keputusan MK, yang berpotensi mengakibatkan sengketa hukum dan konflik politik di masa depan. Dengan penyelenggaraan Pilkada serentak 2024 yang semakin dekat, ketidakpastian ini bisa berdampak negatif pada proses demokrasi di Indonesia.