Beritatrend.com. -Jakarta Kamis, 19/09/24. Bareskrim Polri berhasil mengungkap dugaan pencucian uang senilai Rp 2,1 triliun yang berasal dari peredaran narkoba, yang diduga dikendalikan oleh narapidana berinisial HS. Penangkapan ini melibatkan kolaborasi antara Polri, Ditjen PAS, Bea Cukai, BNN, dan PPATK, dengan delapan tersangka yang ditangkap dalam operasi ini.
Kabareskrim Polri Komjen Wahyu Widada menjelaskan, pengungkapan ini berawal dari informasi mengenai aktivitas mencurigakan yang dilakukan HS, seorang terpidana narkoba yang sedang menjalani hukuman di Lapas Tarakan. Meskipun divonis mati, hukuman HS dikurangi menjadi 14 tahun setelah banding.
HS diduga mengendalikan peredaran narkoba, terutama di wilayah Indonesia Tengah, termasuk Kalimantan dan Sulawesi. Dalam periode 2017 hingga 2023, ia diduga berhasil memasukkan lebih dari 7 ton sabu dari Malaysia ke Indonesia.
HS tidak bekerja sendirian. Ia dibantu oleh delapan kaki tangannya yang memiliki peran spesifik dalam pengelolaan keuangan dan pencucian uang hasil kejahatan. Dari hasil analisis PPATK, perputaran uang dari aktivitas mereka mencapai Rp 2,1 triliun, yang sebagian digunakan untuk membeli berbagai aset.
Sita Aset Senilai Rp 221 Miliar
Dalam pengungkapan ini, Bareskrim menyita aset-aset senilai Rp 221 miliar, termasuk kendaraan, tanah, dan uang tunai. Modus operandi HS dalam pencucian uang melibatkan beberapa tahapan, mulai dari penempatan dana di rekening penampung hingga pembelian aset.
Direktur Bea-Cukai Askolani menegaskan bahwa aset yang disita akan diproses hukum, dan keputusan mengenai penggunaannya akan ditentukan oleh pengadilan.
Dugaan Keterlibatan Oknum Penegak Hukum
Bareskrim juga menyelidiki dugaan keterlibatan oknum dalam jaringan ini. Dua orang oknum penegak hukum sedang dalam pendalaman, dan penyelidikan lebih lanjut akan dilakukan untuk mengungkap aliran dana hasil pencucian uang.
HS dan kelompoknya diancam dengan Pasal 3, 4, 5, 6, dan 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar.
Kasus ini menunjukkan bahwa meskipun berada di balik jeruji besi, narapidana masih memiliki cara untuk mengendalikan jaringan kejahatan, menyoroti tantangan besar dalam penegakan hukum di Indonesia.