Beritatrend.com. -Jakarta, 01/10/24. –Jaksa Agung Republik Indonesia, Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, memimpin ekspose yang menyetujui dua permohonan penyelesaian perkara menggunakan mekanisme keadilan restoratif. Salah satu kasus tersebut melibatkan tersangka Abdul Rasyid bin Syahrani dari Kejaksaan Negeri Kapuas, yang dituduh melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP terkait penadahan.
Peristiwa ini bermula pada 12 Maret 2024, ketika Saksi Muhammad Yusuf berencana mengambil sepeda motor milik Saksi Fery Aris Harjanto. Setelah berhasil membawa bagian dari sepeda motor tersebut, ia meminta bantuan Tersangka Rasyid untuk menjual rangka motor itu. Rasyid yang merasa kasihan, akhirnya setuju membantu Yusuf.
Kasus ini terungkap setelah Saksi Fery melaporkan kehilangan sepeda motor Honda Supra X yang terparkir di rumahnya. Kerugian yang dialami Fery diperkirakan mencapai Rp 7 juta. Dalam proses mediasi yang difasilitasi oleh Kepala Kejaksaan Negeri Kapuas, Tersangka Rasyid mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada Korban. Fery pun menerima permintaan maaf tersebut dan meminta agar proses hukum dihentikan.
Setelah mencapai kesepakatan, Kepala Kejaksaan Negeri Kapuas mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah. Permohonan tersebut disetujui oleh JAM-Pidum.
Selain itu, perkara lain yang juga disetujui adalah kasus Ahmad Fauzi bin Masrani dari Kejaksaan Negeri Barito Kuala, yang melanggar Pasal 310 Ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas.
JAM-Pidum menekankan bahwa keputusan untuk menghentikan penuntutan diambil berdasarkan beberapa pertimbangan, termasuk telah dilakukannya proses perdamaian, status tersangka yang belum pernah dihukum, serta ancaman pidana yang tidak lebih dari lima tahun. Penghentian penuntutan ini menjadi langkah positif dalam pelaksanaan keadilan restoratif, yang bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum dan penyelesaian yang adil bagi semua pihak.
JAM-Pidum juga memerintahkan Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) sesuai dengan peraturan yang berlaku. Keputusan ini diharapkan dapat menjadi contoh dalam penerapan keadilan restoratif di Indonesia.