Beritatrend.com. – Bekasi Sabtu, 08/02/25. – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengungkapkan kronologi sengketa lahan yang terjadi di Desa Setia Mekar, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.
Sengketa tersebut berujung pada eksekusi lahan yang dilakukan pada Kamis (30/1/2025), mengakibatkan beberapa rumah warga dirubuhkan.
Awal Mula Sengketa
Kasus ini bermula pada tahun 1973 ketika seorang bernama Juju memiliki tanah seluas kurang lebih 3,6 hektare.
Pada tahun 1976, Juju menjual tanah tersebut melalui Akta Jual Beli (AJB) kepada Abdul Hamid. Namun, Abdul Hamid tidak langsung melakukan proses balik nama atas tanah tersebut.
Pada tahun 1982, terjadi permasalahan hukum ketika Juju kembali menjual tanah yang sebelumnya telah dijual kepada Abdul Hamid.
Kali ini, tanah dijual kepada seorang bernama Kayat, yang langsung melakukan balik nama dan mengantongi sertifikat hak milik (SHM) dengan nomor 704, 705, 706, dan 707.
Gugatan Hukum dan Kemenangan Ahli Waris
Seiring berjalannya waktu, Abdul Hamid memiliki ahli waris bernama Mimi Jamilah. Mimi kemudian mengajukan gugatan terhadap Kayat dan para penghuni rumah di atas lahan bersertifikat tersebut.
Dalam gugatannya, Mimi berargumen bahwa AJB tahun 1982 seharusnya batal karena tanah tersebut telah lebih dulu dijual kepada ayahnya pada tahun 1976.
Gugatan ini bergulir melalui berbagai tingkat pengadilan, mulai dari Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung (MA).
Setelah melalui proses hukum yang panjang, Mahkamah Agung akhirnya memenangkan Mimi Jamilah sebagai ahli waris sah dari Abdul Hamid.
Eksekusi dan Perlawanan Warga
Putusan hukum yang telah berkekuatan tetap berujung pada eksekusi lahan oleh Pengadilan Negeri (PN) Cikarang Kelas II pada Kamis (30/1/2025). Dalam eksekusi tersebut, lima rumah warga yang berdiri di atas lahan sengketa harus dirubuhkan.
Menurut Nusron Wahid, warga yang terkena dampak penggusuran sebenarnya merupakan korban dari permasalahan hukum masa lalu.
Mereka membeli tanah dari pihak yang dianggap sah dan telah mengeluarkan biaya untuk kepemilikan lahan tersebut.
“Lima orang yang rumahnya digusur ini adalah korban, karena mereka membeli tanah dari pihak yang sah dan telah mengeluarkan uang,” ujar Nusron.
Namun, proses eksekusi tidak berjalan mulus. Sejumlah warga yang merasa memiliki sertifikat hak milik menolak penggusuran dan melakukan aksi perlawanan.
Pada hari eksekusi, mereka sempat menghadang petugas eksekusi guna mempertahankan rumah mereka.
Dampak dan Langkah Selanjutnya
Sengketa lahan ini menyoroti kompleksitas permasalahan pertanahan di Indonesia, terutama terkait keabsahan kepemilikan tanah di masa lalu.
Warga yang terdampak masih berharap ada solusi yang lebih adil, mengingat mereka merasa telah membeli tanah dengan sah.
Nusron Wahid menyatakan bahwa pihak ATR/BPN akan terus memantau perkembangan kasus ini dan mencari jalan keluar terbaik agar masyarakat tidak terus menjadi korban akibat tumpang tindih kepemilikan lahan.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat untuk lebih teliti dalam proses jual beli tanah agar tidak terjebak dalam sengketa hukum yang berkepanjangan.