Beritatrend.com. – Jakarta Senen, 18 November 2024. – Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Pengawasan (JAM Pengawasan) bersama United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Teknologi Blockchain: Tantangan dan Implementasinya dalam Penegakan Hukum di Indonesia”. Acara ini berlangsung pada Senin, 18 November 2024, di Thamrin Menara Tower, Jakarta, dengan tujuan untuk mendalami tantangan, peluang, dan strategi dalam memanfaatkan teknologi blockchain dalam sistem hukum Indonesia.
Plt. Jaksa Agung Muda Pengawasan, R. Febriyanto, dalam sambutannya menekankan pentingnya menghadapi perkembangan pesat teknologi blockchain yang sejak kemunculan Bitcoin pada 2009, telah menjadi inovasi di berbagai sektor, termasuk keuangan, pendidikan, dan pertanian. Namun, ia juga mengingatkan bahwa blockchain, yang mendasari cryptocurrency, dapat dimanfaatkan untuk aktivitas ilegal seperti penipuan, pencucian uang, peretasan, hingga pendanaan terorisme.
Data yang disampaikan menunjukkan kenyataan yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2021, lebih dari $14 miliar transaksi cryptocurrency terkait dengan tindak pidana. Indonesia bahkan menempati peringkat kedua di dunia dalam kasus penipuan aset kripto pada 2019, dengan 11% korban dari total keseluruhan. Masalah lain yang mengemuka adalah sifat terdesentralisasi dari blockchain yang menyulitkan aparat hukum dalam melacak transaksi dan mengidentifikasi pemilik aset yang sebenarnya.
Regulasi dan Pengawasan Blockchain di Indonesia
Sambutan dari Sekretaris Jaksa Agung Muda Pengawasan menyoroti bahwa regulasi blockchain di Indonesia saat ini masih terbatas pada pengaturan aset kripto sebagai komoditas, melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 dan Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Nomor 2 Tahun 2019. Baru-baru ini, pengawasan aset kripto dialihkan ke OJK melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023. Namun, kebutuhan akan regulasi yang lebih komprehensif, termasuk untuk blockchain sebagai infrastruktur teknologi, semakin mendesak.
Indonesia, menurut Febriyanto, bisa belajar dari negara seperti Liechtenstein yang telah berhasil mengesahkan “Blockchain Act” untuk mengatur penggunaan teknologi ini secara lebih efektif, sambil mengurangi risiko yang mungkin timbul.
Pentingnya Kolaborasi Lintas Sektor
Diskusi juga menyoroti langkah-langkah yang perlu diambil dalam penegakan hukum, seperti penguatan keamanan siber dalam ekosistem blockchain untuk mencegah manipulasi data, serta pentingnya regulasi yang mengutamakan transparansi dan pengelolaan risiko. Selain itu, peraturan yang mendukung kepatuhan terhadap standar Anti-Pencucian Uang (AML) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (CFT) menjadi aspek yang tak kalah krusial.
Plt. Jaksa Agung Muda Pengawasan berharap FGD ini dapat menghasilkan solusi konkret yang akan membantu Indonesia mengoptimalkan manfaat teknologi blockchain dalam penegakan hukum, sekaligus menjaga ekosistem digital yang aman. “Kita harus siap menghadapi tantangan era digital yang semakin kompleks,” ujar Febriyanto.
Kolaborasi Strategis
Acara FGD ini juga menjadi ajang untuk memperkuat kolaborasi antara berbagai pihak. Selain Kejaksaan Agung dan UNODC, kegiatan ini melibatkan Asosiasi Blockchain Indonesia dan Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia. Para peserta dari kalangan praktisi hukum, akademisi, hingga pengembang teknologi blockchain turut berpartisipasi dalam diskusi yang mendalam tentang masa depan regulasi dan penegakan hukum terkait blockchain di Indonesia.
Hadir pula dalam acara ini Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Asep N. Mulyana, Kepala Program UNODC di Indonesia, Mr. Erik van der Veen, serta Guru Besar Binus University, Prof. Meyliana, yang memberikan perspektif dari sisi akademis.
Dengan adanya kolaborasi ini, Kejaksaan Agung berharap Indonesia dapat lebih siap menyambut era digital dan blockchain yang semakin berkembang, dengan tetap mengedepankan aspek legalitas dan keadilan dalam setiap penerapannya. (Muslim Jauhari). *