Penemuan SSRA: Kecepatan Membaca Siswa Indonesia Serupa Lulusan SD, Apa Dampaknya?

Penemuan terbaru dari Germenbali Alfateta dan Berlian Psikologi mengungkapkan data mengejutkan mengenai kecepatan membaca siswa SMA di Indonesia.

Beritatrend.com -Jakarta, 28/08/24. Penemuan terbaru dari Germenbali Alfateta dan Berlian Psikologi mengungkapkan data mengejutkan mengenai kecepatan membaca siswa SMA di Indonesia. Asesmen terbaru menunjukkan bahwa 87% siswa SMA di Bogor memiliki kecepatan membaca yang setara dengan lulusan sekolah dasar, bahkan sebagian di antaranya setara dengan siswa kelas 3 SD. Temuan ini menggarisbawahi kekhawatiran mendalam tentang mutu pendidikan dan minat baca di Indonesia.

Pada 24 Agustus 2024, penelitian yang dilakukan di SMA Caringin 1 Bogor menemukan bahwa 75% siswa memiliki kecepatan baca kurang dari 200 kata per menit, sementara 13% berada di bawah 100 kata per menit. Hanya 12% siswa yang mencapai tingkat kecepatan setara dengan SMP, dan tidak ada satu pun yang mencapai tingkat SMA. Ini menyoroti masalah mendasar dalam sistem pendidikan yang sudah lama disorot.

Ketua Germenbali Alfateta, Bambang Prakuso, menegaskan bahwa rendahnya kecepatan membaca mencerminkan kegagalan dalam membangun budaya literasi yang kuat di Indonesia. Kecepatan membaca yang rendah, menurut Prakuso, berdampak langsung pada minat baca, pemahaman bacaan, dan pada akhirnya kualitas pendidikan yang lebih rendah. Hal ini juga berkontribusi pada rendahnya skor PISA Indonesia dan meningkatnya pengangguran di kalangan Gen Z.

Sebagai tanggapan terhadap masalah ini, Alfateta memperkenalkan metode Super Speed Reading Alfateta (SSRA), yang diklaim dapat meningkatkan kecepatan membaca hingga 1000%. Metode ini bukan hanya sekedar pelatihan membaca cepat, tetapi sebuah strategi komprehensif untuk meningkatkan minat baca dan kecepatan membaca secara signifikan. Menurut Prakuso, dengan SSRA, kecepatan membaca bisa meningkat dari 200 kata per menit menjadi 2000 kata per menit dan siswa dapat membaca hingga 52 buku per tahun, melampaui standar di negara-negara maju.

Namun, meski SSRA menawarkan solusi potensial, upaya untuk mengkomunikasikan temuan ini kepada pemerintah tampaknya menemui jalan buntu. Bambang Prakuso mengklaim telah berulang kali menghubungi berbagai lembaga pemerintah, namun belum ada tindak lanjut yang konkret. Meski demikian, Prakuso tetap optimis bahwa perubahan radikal dalam metode pembelajaran dan literasi dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, meningkatkan kualitas pendidikan dan mengurangi angka pengangguran di kalangan generasi muda.

Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah, sekolah, dan masyarakat untuk segera mengatasi masalah ini dengan pendekatan yang lebih efektif dan inovatif. Tanpa tindakan yang cepat dan tepat, masa depan literasi dan pendidikan di Indonesia mungkin akan semakin terancam.

Exit mobile version