Beritatrend.com. -Jakarta Senen, 12/08/24. Ibarat habis menunggangi seekor banteng liar, maka saat hendak turun menjadi masalah tersendiri. Masalahnya banteng liar itu sungguh tidak dapat dikendalikan, apalagi hendak dijinakkan lewat tali kekang seperti apapun yang mengikatnya. Maka itu jalan pilihan menjadi terlalu banyak dan rumit hendak dilakukan. Sebab, kalau sampai salah pilih sang banteng bisa menyeruduk tanpa ampun. Sebab gumpal kejengkelan sudah terlalu banyak menumpuk, nyaris segede gunung Selamet di Jawa Tengah yang menyimpan banyak misteri yang tidak pula gampang untuk dipahami.
Maka itu, untuk mencari aman, cara turun dari punggung banteng perlu siasat yang jitu, bergelantungan sementara waktu dipohon beringin yang rindang dan mungkin sejenak bisa membuat hati tenteram atau bahkan aman dan nyaman sampai dipenghujung hayat. Toh, pada alhirnya kelak ada mentoknya juga. Siapa tahu dapat mengelak dari kutukan rakyat maupun dari azab alam.
Karena itu, bayangan tentang insiden untuk tidak mengibaratkan semacam bencana, sungguh gawat dan mencemaskan. Semua orang seperti sedang menahan diri dengan hati yang cemas yang sukar untuk dikatakan. Apalagi sekdar hendak dirumuskan, bagaimana kelak akhir dari babak penyisihan itu agar supaya tidak sampai menambah kekisruhan yang tidak penting dan tidak perlu menimbulkan jatuh korban.
Gambaran dari penerawangan ini, sesungguhnya semacam mimpi Ki. Juru Mertani yang tak banyak diketahui oleh banyak orang. Soalnya memang, hanya bagi mereka yang tekun melakukan laku spiritual saja serta mempunyai indra ke tujuh yang mampu menangkap sinyal lembut itu, karena tanpa getaran dan alarm melalui frekuensinya yang berkelip selembut angin dan kabut yang masuk dalam pusat batin yang tak mampu dipahami oleh semua orang. Karena itulah Anda patut bersyukur dapat menangkap kerlip sinyal ini di tengah kegelapan semesta yang nyaris tidak berujung.
Penunggang Banteng liar itu tampak jelas dan penuh ketakutan untuk menyelamatkan diri setelah puas mengumbar nafsu dan birahi terkutuknya yang tidak pernah merasa perlu berterima kasih. Apalagi hendak bersyukur atas semua nikmat yang telah dia rebut dengan segala cara yang sangat melukai hati banyak orang. Maka itu sumpah serapah pun berduyun-duyun diusung demonstran sepanjang jalan protokol menuju pusat perkantoran yang penuh kemunafikan.
Narasi kemarahan rakyat ini pun realitasnya belum selesai, lantaran terlanjur dipapak oleh babak yang telah diskenariokan berikutnya. Tapi ini semua sekaligus meyakinkan bahwa elan vital perjuangan yang harus dilakukan memang tidak pernah kunjung usai. (Jacob Ereste).*