Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung, Harli Siregar, langsung membantah gagasan tersebut. “Denda damai tidak berlaku untuk koruptor,” tegasnya.
Sengkarut ini semakin membuktikan bahwa koordinasi di antara lingkaran Istana memerlukan evaluasi serius.
Pola komunikasi yang tidak terkoordinasi tidak hanya menimbulkan kebingungan, tetapi juga mengikis citra pemerintah.
Publik membaca situasi ini sebagai tanda belum matangnya kajian komprehensif terkait kebijakan strategis seperti pemaafan koruptor.
“Korupsi bukan hanya kejahatan individu, tetapi ancaman serius bagi keadilan dan masa depan bangsa,” tulis Aswar Hasan dalam Kompas.
Pernyataan ini menegaskan bahwa sikap lunak terhadap korupsi dapat merusak legitimasi negara dan kepercayaan publik.
Langkah ini bukan sekadar untuk menyosialisasikan kebijakan, tetapi juga untuk mendapatkan umpan balik yang membantu pemerintah memitigasi potensi resistensi publik.
Partai yang sebelumnya keras mengecam korupsi kini memilih diam atau sekadar mengamini kebijakan pemerintah.