Tensi Meninggi di Penajam: Aktivis dan Jurnalis Dihadang Aparat Saat Liputan Aksi Protes IKN

Kalimantan Timur Pada peringatan HUT RI ke-79, Penajam menjadi pusat ketegangan saat aktivis Greenpeace, Walhi, dan Jatam melancarkan aksi protes terhadap pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN)

Beritatrend.com. -Penajam Rabu, 21/08/24. Kalimantan Timur Pada peringatan HUT RI ke-79, Penajam menjadi pusat ketegangan saat aktivis Greenpeace, Walhi, dan Jatam melancarkan aksi protes terhadap pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Aksi yang berlangsung pada 17 Agustus 2024 ini menampilkan spanduk besar bertuliskan “Indonesia Not For Sale” di Jembatan Pulau Balang, namun berakhir ricuh ketika aparat keamanan menghadang jurnalis dan aktivis.

Sekitar pukul 07.50 WITA, rombongan jurnalis dan aktivis tiba di Pantai Lango menggunakan kapal untuk meliput aksi yang digelar dengan arak-arakan 14 kapal menuju jembatan. Namun, berita ini baru diterima media pada 20 Agustus, tiga hari setelah peristiwa terjadi.

Saat aksi memuncak pada pukul 12.05 WITA dengan pembentangan spanduk raksasa di jembatan, aparat Polairud dan dua perahu karet dari Sektor Penajam datang untuk membubarkan massa. Ketegangan meningkat ketika jurnalis dan aktivis yang hendak kembali ke Maridan dihadang dan digelandang ke daratan pada pukul 13.00 WITA.

Konfrontasi terjadi ketika jurnalis dan aktivis menolak turun dari kapal, khawatir akan tekanan fisik. Setelah akhirnya turun, mereka dibawa ke gedung PUPR untuk pendataan. Para jurnalis diizinkan pulang, namun sejumlah aktivis masih harus memberi keterangan kepada Kepolisian Penajam Paser Utara.

Keterlambatan informasi ini menunjukkan kekurangan dalam sistem komunikasi dan publikasi, yang menimbulkan kekhawatiran jika kejadian serupa berujung pada risiko yang lebih serius. Kritik juga datang dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, yang menilai keterlambatan rilis berita menurunkan efektivitas respons terhadap insiden ini.

UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin perlindungan bagi jurnalis, tetapi kenyataannya, intimidasi dan pembatasan fungsi pers masih terjadi. Kasus ini menyoroti perlunya pemahaman yang lebih baik tentang kemerdekaan pers di Indonesia, di tengah klaim negara sebagai demokrasi yang maju. (Jacob Ereste). *

error: Content is protected !!
Exit mobile version