Momen Bersejarah Pelantikan Serentak Kepala Daerah 2025

Sebuah Momen Bersejarah yang Menantang Semangat Otonomi Daerah

Salah satu kritik utama dari pelantikan serentak ini adalah hilangnya peran gubernur yang selama ini menjadi pengambil keputusan dalam pelantikan bupati dan wali kota.

Jika pelantikan ini diambil alih oleh presiden, seperti yang terjadi pada 20 Februari 2025, dikhawatirkan akan menurunkan wibawa gubernur.

Konflik antara bupati/wali kota dan gubernur yang sudah sering terjadi mungkin akan semakin intensif. Ini tentu akan merugikan koordinasi dan sinergi antara pemerintah pusat, provinsi, dan daerah.

Secara yuridis, polemik pelantikan serentak ini juga cukup kompleks. Dalam Undang-Undang Pilkada No. 10 Tahun 2016, pasal 164 B menyebutkan bahwa presiden “dapat” melantik kepala daerah, namun ini bersifat opsional.

Sementara pasal 163 dan 164 secara jelas menyatakan bahwa gubernur memiliki kewenangan untuk melantik bupati dan wali kota di ibu kota provinsi.

Artinya, pelantikan bupati/wali kota oleh presiden bisa menyalahi aturan yang ada, dan membuka potensi masalah di masa depan.

Efisiensi Anggaran atau Pemborosan?

Di tengah upaya pemerintah untuk efisiensi anggaran, pelantikan serentak di Jakarta yang melibatkan ribuan orang, baik pejabat daerah maupun rombongan, tentu akan membutuhkan biaya besar.

Mulai dari transportasi, akomodasi, hingga berbagai persiapan upacara besar, yang semuanya bisa menambah beban anggaran negara.

Selain itu, setelah pelantikan, kepala daerah yang baru terpilih akan mengikuti “retreat” atau orientasi kepemimpinan di Akmil, Magelang, yang memakan waktu seminggu. Semua itu tentunya menambah biaya yang harus dikeluarkan.

Masa Depan Pelantikan Kepala Daerah: Menyatukan Semangat Otonomi dan Efisiensi

Melihat dinamika yang ada, banyak yang berpendapat bahwa ke depan, pelantikan kepala daerah hasil Pilkada serentak sebaiknya dikembalikan pada prinsip pelantikan bertingkat.

Presiden dapat melantik gubernur di ibu kota negara, sementara gubernur yang bersangkutan melantik bupati/wali kota di ibu kota provinsi atau bahkan lebih ideal lagi, di ibu kota kabupaten/kota masing-masing.

Langkah ini akan lebih mendekatkan momen pelantikan dengan masyarakat, serta memberikan rasa kebanggaan dan keterlibatan bagi warga setempat.

Pelantikan yang dilakukan di gedung DPRD, dihadiri langsung oleh rakyat, dan diwarnai dengan pidato politik dari kepala daerah terpilih akan menjadi simbol kuat dari semangat otonomi daerah yang sesungguhnya.

Selain itu, hal ini dapat mempererat hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat, serta meningkatkan transparansi dan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.

Dengan demikian, meskipun pelantikan serentak kepala daerah yang akan digelar pada 20 Februari 2025 menjadi momen bersejarah, tak ada salahnya kita merefleksikan kembali apakah langkah ini sejalan dengan semangat otonomi daerah yang sesungguhnya, dan bagaimana kedepannya kita bisa memastikan bahwa pelantikan dan pembinaan kepala daerah tetap berjalan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang efektif dan efisien.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!